Ini adalah rumah yang menyimpan
banyak kenangan masa kecilku. Rumah dengan bagian depan berundak-undak sehingga
ketika aku berdiri di depan pintu maka aku, diusiaku yang masih 10 tahun aku
merasa lebih tinggi dari anak-anak yang berada di halaman rumah. Bagian dalam
terdapat 4 tiang besar, yang lebar sisi-sisinya sekitar 50 cm, terbuat daari
kayu jati dengan dasar penyangga jati yang terbuat dari batu yang dipahat
dengan ukiran yang menarik. Pintu depan terbuat dari jati tapi
dinding-dindingnya terbuat dari bambu. Masing-masing kamar hanya ditutup dengan
gorden. Siapa saja bisa masuk ke kamar siapapun dan kapan saja, tidak ada
pivace. Rumah itu telah mendisaignku dalam keterbukaan dan tumbuh tanpa ada
rahasia. Kalau hujan turun disertai angina, maka air akan masuk dari segala
penjuru. Air hujan bisa masuk lewat genteng yang bocor atau dari dinding-dinding bambu yang celahnya
melebar. Dengan demikian, maka berjejer ember menghiasi ruang-ruang dalam
rumah.
Dari semua itu, yang paling aku
sukai adalah pohon kersen yang ada di halaman depan rumah. Aku tidak suka buah
dari pohon kersen. Menurutku buahnya yang kecil berwarna merah itu baunya tidak
enak. Tapi aku suka pohonnya. Pohon kersen mempunyai cabang-cabang yang besar
dan mendatar, dan tidak terlalu tinggi. Sepulang sekolah aku selalu memanjat
pohon kersen, kadang aku naik dengan membawa bantal dan radio, berbaring
diantara cabang-cabang yang berdekatan, menikmati semilir angin serta daun yang bergerak diterpa angin, bahkan
cabangnya yang bergerak mengikuti hembusan angina, membuatku seperti diayun
ayun.
Aku menempati rumah ini dari
mulai aku lahir, pemiliknya seorang janda yang tidak memiliki anak, nama sebenarnya jaikem. Seperti nama-nama anak perempuan jawa jaman dulu harus menggunakan
huruf ‘m’ dibelakang namanya. Karena perempuan dulu, mulutnya harus diam maka
namanya harus berakhiran ‘m’. ketika menikah, ia lebih di kenal dengan nama suaminya cipto harjono karena perempuan dalam budaya jawa ketika menjadi istri berada dalam posisi suwargo nunut neroko katut (dalam terjemahan bebas saya : perempuan melebur menjadi milik suami, lenyap identitas diri, kebahagiaan dan penderitaan bergantung pada suami. Aku memanggilnya mbah cip, kami tinggal serumah dengannya. tubuhnya selalu harum dengan minyak cap putri duyung. sebelum semua penghuni rumah bangun, maka mbah cip lah yang pertama bangun dan mandi di pagi dini hari.
Orang tuaku memberiku kebebasan mengekspresikan apa yang ada dalam hatiku tetapi nenek ini memberikan aturan-aturan dalam rumah. Kalau aku berjalan, maka sandal yang kupakai tidak boleh berbunyi ‘srek-srek’. Aku harus berjalan dengan meringankan langkahku. Kalau aku menutup pintu, tidak boleh dibanting. Kalau aku mandi maka tidak boleh terdengar jebar-jebur. Yang paling mengesalkan adalah, kalau aku bolak-balik makan maka beliau akan berkata: “ kalau orang lain membangun rumah, maka kamu membangun WC”.
Orang tuaku memberiku kebebasan mengekspresikan apa yang ada dalam hatiku tetapi nenek ini memberikan aturan-aturan dalam rumah. Kalau aku berjalan, maka sandal yang kupakai tidak boleh berbunyi ‘srek-srek’. Aku harus berjalan dengan meringankan langkahku. Kalau aku menutup pintu, tidak boleh dibanting. Kalau aku mandi maka tidak boleh terdengar jebar-jebur. Yang paling mengesalkan adalah, kalau aku bolak-balik makan maka beliau akan berkata: “ kalau orang lain membangun rumah, maka kamu membangun WC”.
Kalau aku menyapu, maka tidak
boleh ada debu yang tertinggal. Katanya, kalau aku menyapu tidak bersih maka
suamiku akan brewokan. Kalau saja lantai rumah ini terbuat dari keramik maka
rumah ini pasti terlihat berkilau, tetapi lantainya adalah lantai yang terbuat
dari campuran semen, pasir dan gamping. Warnanya kuning bercak-bercak hitam.
Warna kuning bercak-bercak hitam adalah warna asli lantai ini, tetapi karena
sekian tahun banyak yang berlubang maka ditutuplah lubang tadi dengan campuran
yang berbeda sehingga hasilnya lantai ini berhias bulatan-bulatan hitam di
sana-sini.
Walaupun perempuan yang kuanggap
nenek ini kadang-kadang bawel tetapi dia suka mengusap rambutku ketika aku
tiduran diserambi depan. Pernah dia berkata padaku; “aku do’akan, besuk kamu mendapat suami
insinyur” aku tersenyum senang, penyakit Cinderella complex segera menyerangku.
Sedikit penasaran aku bertanya padanya: “kenapa insinyur, Nek?” “ lha insinyur
itu kan banyak uangnya” katanya. Hal Seperti yang kubayangkan, perempuan
menikah untuk mendapatkan kenyamanan material, padahal banyak orang
berkecukupan tapi tidak bahagia dalam perkawinan. Sementara mreka yang menikah
berdasarkan cinta, pada akhirnya juga menderita. Lalu apakah yang dicari dalam
pernikahan?