Rabu, 23 Januari 2013

EPISODE....
gemuruh ombak di lautan tak segemuruh galau di hatiku..
perahu berlayar di ujung cakrawala, berayun diterpa gelombang..
berdiri aku menatap ombak yang semaikin meninggi
bertanya aku tentang cinta yang sebenarnya..

mampukah luka ini terbalut oleh cinta,
sementara aku masih bertanya tentang cinta yang kaumiliki..
apakah kita berada dalam satu perahu yang kokoh,
ataukah kita sendiri tidak tahu apakah perahu itu kokoh..

buih air laut menyapu bekas tapak kaki ini..
berjalan menyusuri pantai,
sejauhmana aku sanggup berjalan..


Kamis, 17 Januari 2013

kamboja kelopak genap


Pagi-pagi sudah tercium bau malam yang di bakar , sepertinya sudah ada yang mulai datang ke makam yang letaknya memang tidak jauh dari rumahku,  hanya 2 m di samping rumah.  Bahkan ketika jendela kamar atas di buka, nisan-nisan di makam itu terlihat jelas dari kamarku.
Pada bulan ruwah atau sya’ban, menjelang romadhon bayak orang berdatangan di makam kuncen ini. Barangkali karena luas makam ini teramat luas, sehingga banyak orang baik dari lingkungan sekitar maupun luar kota datang ke makam ini untuk berbagai alasan.
Teringat aku, ketika aku masih duduk di bangku SD. Kami sering bermain di lapangan area makam yang masih kosong. Tanah yang diperuntukan untuk makam ini karena masih kosong, masyarakat sering menggunakannya untuk bermain sepak bola, belajar sepeda motor dan aktifitas olah raga lainnya. Setiap sore banyak orang berdatangan di sini. Di dekat lapangan ada SD negeri yang lebih terkenal dengan istilah SD Inpres, di sebut SD inpres karena katanya SD bantuan Presiden. Tahun 70-an, SD ini lebih terkesan sebagai SD yang diperuntukan bagi murid2 yang tidak mampu. Beberapa di antara mereka bersekolah tanpa alas kaki, kadang dengan baju yang ukurannya kekecilan,  terlepas kancingnya sehingga pusarnya kelihatan.
Suatu hari di bulan sya’ban, aku bermain bersama teman-teman di lapangan dekat SD inpres. Kami berlarian, berkejaran di situ sampai kami mendekati makam.  Karena capek berlari akhirnya kami pergi ke makam mencari  bunga kamboja yang berjatuhan. Temanku Inung bercerita, katanya bunga kamboja yang kelopaknya genap membawa keberuntungan. Maka sepakat kami mencari bunga kamboja yang kelopaknya empat atau enam. Tidak mudah memang, karena pada umumnya kelopak kamboja berjumlah lima. Tapi alangkah senangnya aku, ketika ternyata aku menemukan kelopak bunga kamboja berjumlah enam. Segera aku tunjukan kepad temanku Inung yang telah memberi informasi kehebatan bunga kamboja. Lalu dia menyarankan kepadaku untuk menyimpannya di buku matematika. Katanya lagi, nilainya nanti pasti 10 semua.  Ketika kami hendak keluar dari makam ada serombongan orang yang hendak mengirim do’a. segera inung menyeretku mendekati orang-orang yang duduk berjongkok menunggu kedatangan orang orang yang hendak mengunjungi makam kerabatnya. Inung menyuruhku berjongkok tapi aku masih berdiri bingung sementara tamu-tamu makam sudah memberikan uang kepada orang2 yang berjongkok, termasuk inung dan aku yang masih bingung pun mendapat uang receh. Aku senang dapat uang jajan tapi ada perasaan malu menerimanya, seperti seorang pengemis saja. Aku melihat inung dan yang lainnya menerima uang itu dengan senang, mereka sudah biasa mendapatkan uang dari tamu-tamu makam.
Orang-orang yang tinggal di dekat makam sudah dari pagi mereka berjaga di makam ini. Mereka sudah hafal makam-makam yang sering dikunjungi.  Mereka membawa sapu dan membersihkan makam yang sering dikunjungi, itu adalah mata pencaharian mereka pada bulan sya’ban dan syawal (lebaran). Dua pekerjaan yang menguntungkan di bulan-bulan ini adalah penjaga makam dan tukang parkir. Kadang anak-anak seusiaku pun ikut ke makam untuk mendapatkan uang dari pengunjung.
Aku pulang membawa bunga kamboja dan satu koin uang 100 rupiah. Sambil berlarian kecil aku mencari ibuku, untuk memamerkan uang 100 rupiah yang kudapatkan tadi siang. Dengan wajah gembira aku katakan kalau aku diberi uang oleh pengunjung makam. Tetapi aku menjadi menyesal menceritakannya, karena ternyata ibuku marah besar.  Katanya: “ Ya Alloh!Astaghfirulloh! apa kamu nggak malu? Itu sama saja dengan pengemis! Mau kamu jadi pengemis? Awas! Kalau sampai diulang lagi, besok nggak boleh main lagi!” Aku terdiam menduduk tidak berani menatap wajah ibuku dan segera pergi ke kamar menyimpan bunga kamboja di buku matematika seperti saran temanku Inung.
Paginya aku berangkat sekolah bersama adik-adikku di SD Muhammadiyah Wirobrajan I, berbeda dengan Inung yang sekolah di SD Inpres.  Sebenarnya rumahku lebih dekat dengan SD Inpres daripada SD Muhammadiyah.  Pernah aku minta kepada orang tuaku untuk pindah sekolah di SD Inpres saja biar dekat dan tidak diejek temanku yang suka memanggilku pak brewok karena ayahku brewokan, tapi orang tuaku tidak mengijinkan dengan alasan tidak ada materi agama yang cukup di SD Inpres.
Pagi itu, jam pertama adalah matematika. Sebenarnya matematika bagiku bukan hal yang sulit tapi entah bagaimana aku ingin menyetujui perkataan Inung bahwa bunga kamboja itumemang benar membawa keberuntungan. Akupun lega dan gembira karena nilai matematikaku 9 dan 10. Aku pulang dengan wajah gembira dan segera menemui Ibuku untuk bercerita tentang bunga kambojaku..
Sambil makan siang aku bercerita kalau hari minggu kemarin aku menemukan bunga kamboja genap dan kutaruh di buku matematikaku dan ternyata nilai matematikaku bagus semua. Ternyata mendengar ceritaku ibuku marah lagi. “Musyrik! Dosa! Ayo, buang bunga kambojanya!”  aku terkejut dan ketakutan.melihat aku ketakutan , suara ibu-pun melunak, dan mengajaku untuk melihat hasil ulangan matematikaku. “ coba kamu lihat baik2 nilai matematikamu, apa ada yang nilainya 7 ke bawah?”  nanti kamu lihat punya Inung, apa setelah menggunakan bunga kamboja, nilainya lebih baik?” lalu ibu-pun memberi  nasehat banyak tentang syirik, bahwa mempercayai kehebatan suatu benda atau merasa takut kepada sesuatu, itu sama dengan mentuhankan benda itu, bahkan mengirim bunga ke makam-pun itu tidak ada tuntunannya. Boleh kita ke makam untuk mendo’akan orang yang sudah meninggal tetapi jangan meminta do’a kepada orang yang sudah meninggal, boleh kita ke makam untuk mengingatkan kita bahwa kita juga akan menyusul mereka. Maka aku pun samar-samar mulai  mengerti dengan apa yang diterangkan guru agama tentang tahayul. Lalu aku berkata kepada ibu: ‘kalau gitu kita nggak boleh takut sama bapak, ya Bu?” Lho sama bapak itu bukan takut tapi menghormati”, jawabnya sambil beranjak pergi
Sekarang, masih juga aku lihat orang mencari bunga kamboja tapi tidak mengambil satu dua saja, mereka mengambil bunga kamboja yang berjatuhan sekeranjang penuh. Kutanya kepada salah satu yang melintas di rumah, “untuk apa bunga kamboja sebanyak itu?” Katanya: “ di jual, untuk obat nyamuk.” Begitukah?